PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP BANGSA
Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh penggalinya adalah
pandangan hidup yang muncul dalam mengenali realitas sosio-politik bangsa
Indonesia. Pancasila adalah upaya dan muara yang paling mungkin untuk
disepakati dari beragamnya aspek plural kehidupan masyarkata Indonesia. Rumusan
Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV, terdiri
atas lima sila, asas atau prinsip yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sedangkan secara entitas, Pancasila itu sendiri pada hakekatnya
ia adalah nilai (Kaelan, 2002). Nilai atau value adalah sesuatu yang berharga,
berguna bagi kehidupan manusia. Nilai memiliki sifat sebagai realitas yang
abstrak, normatif dan berguna sebagai pendorong tindakan manusia. Kelima sila,
asas atau prinsip Pancasila di atas dapat dikristalisasikan ke dalam lima nilai
dasar yaitu nilai KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Pancasila yang berisi lima nilai dasar itu ditetapkan oleh
bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia sejak
tahun 1945 yaitu ketika ditetapkan Pembukaan UUD NRI oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar negara dan ideologi nasional
ini dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/ MPR/1998 yang
mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 sekaligus secara eksplisit
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara (Yudhoyono, 2006:xvi). Pancasila
sebagai dasar negara berkonotasi yuridis, sedang Pancasila sebagai ideologi
dikonotasikan sebagai program sosial politik (Mahfud MD, 1998 dalam Winarno,
2010). Pancasila telah menjadi dasar filsafat negara baik secara yuridis dan
politis (Kaelan, 2007:12).
Pancasila sebagai dasar negara dapat ditinjau dari aspek
filosofis dan yuridis. Dari aspek filosofis, Pancasila menjadi pijakan bagi
penyelenggaraan bernegara yang dikristalisasikan dari nilai-nilainya. Dari apek
yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum (rechtside) yang
harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Politik pembangunan
hukum di Indonesia dengan kerangka nilai Pancasila memiliki kaidah kaidah
penuntunnya.
Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu
selanjutnya dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber
hukum formal. Jalinan nilai nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam aturan dasar
(hukum dasar) yaitu UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai
segi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD
1945 selanjutnya dijabarkan lagi dalam undang-undang dan peraturan dibawahnya.
Hieraki hukum Indonesia yang terbentuk ini berbentuk piramida yang dapat
dilihat dan sejalan dengan Stufenbautheorie (teori jenjang norma) dari Hans
Kelsen, dimana Pancasila sebagai Grundsnorm berada di luar sistem hukum,
bersifat meta yuristic tetapi menjadi tempat bergantungnya norma hukum.
Pada posisinya sebagai ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila
difungsikan sebagai nilai bersama yang ideal dan nilai pemersatu. Hal ini
sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat yaitu: Pertama, sebagai tujuan
atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat. Kedua,
sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian
konflik yang terjadi di masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999 dalam Winarno, 2010).
Dalam kaitannya dengan yang pertama nilai dalam ideologi itu menjadi cita-cita
atau tujuan dari masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai
terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi itu.
Sedangkan dalam kaitannya yang kedua, nilai dalam ideologi itu
merupakan nilai yang disepakati bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat
itu serta nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu
masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Pancasila sebagai ideologi nasional ini dapat dipandang dari sisi filosofis dan
politis. Dari aspek filosofis, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar keyakinan
tentang masyarakat yang dicita-citakan (fungsi pertama ideologi). Dari aspek
politik Pancasila merupakan modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mampu
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam satu nation state atas
dasar prinsip persatuan (fungsi kedua ideologi). Pancasila menjadi nilai
bersama atau nilai integratif yang amat diperlukan bagi masyarakat yang plural.
1. Pancasila Dalam Politik Pendidikan Nasional
Dalam konteks pendidikan nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa
Pancasila sebagai ideologi bangsa mengalami fluktuasi tafsiran dari setiap
rezim yang berkuasa, bukan hanya masa orde baru yang selama ini kita anggap
sebagai rezim yang paling getol memberikan tafsir tetapi juga sudah dimulai
sejak rezim pemerintahan presiden Soekarno pada masa orde lama (Samsuri, 2009).
Pada tahun 1959/1960-an ketika gegap gempita Demokrasi Terpimpin
begitu kuat di panggung politik ketika itu, telah diperkenalkan mata pelajaran
Civics dalam dunia pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya satu
buku terbitan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang
berjudul “Civics: Manusia Indonesia Baru,” karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi
buku itu berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Pancasila; UUD
1945; Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin; Konferensi Asia-Afrika, Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik; Laksana Malaikat; dan
lampiran-lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca
Wardana, dan Declaration of Human Rights; serta pidato-pidato lainnya dari
Presiden Sukarno dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) (Muchson,
2004:30). Buku “Civics” dan Tubapi tersebut kemudian menjadi sumber utama mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah, dengan ciri
indoktrinasi yang sangat dominan.
Perkembangan berikutnya, mata pelajaran “Civics” yang kemudian
diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962, pada Kurikulum 1968 ditetapkan
secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di dalam kurikulum ini,
penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan
kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya
belum nampak (Aman, dkk., 1982:11).
Pada masa orde baru, tafsir ideologis negara dalam bidang
pendidikan mulai menampakkan kekuatannya ketika secara formal, GBHN 1973
menyebut perlunya: “Kurikulum di semua tingkat pendidikan …berisikan Pendidikan
Moral Pancasila….” Apabila dicermati, nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan
dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan bahan pengajaran,
dengan nuansa Civics Kurikulum 1968.
Materi tafsir ideologi nasional dalam PMP makin indoktrinatif
ketika MPR telah menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
P4 ini mengharuskan setiap warga negara dan aparatur negara untuk melaksanakannya.
Dalam lapangan pendidikan, P4 ini menjadi “roh” dan “mata air” dari mata
pelajaran PMP sampai dengan diubah namanya menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) pada Kurikulum 1994.
Istilah PPKn lebih dikuatkan dan ditegaskan dengan keluarnya
keputusan Mendikbud No. 061/U/1993 tenang Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang antara lain menyebutkan bahwa PPKn adalah
mata pelajaran yang digunakan untuk wahana mengembangkan dan melestarikan nilai
luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Selama periode Orde Baru, pendidikan sebagai instrumen
pembentukan karakter warga negara menampakkan wujudnya dalam standarisasi
karakter warga negara. yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn dengan
memasukan secara membabi-buta tafsir Pancasila menurut P4. Pancasila direduksi
menjadi 36 butir tafsir pengamalan nilai-nilai Pancasila. P4 inilah yang
kemudian menjadi keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara.
Meskipun Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila
sebagai Dasar Negara sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang
Tubuh dan Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi kelihatan lebih penting dari
Pancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila menjadi “kata sakti” dalam
segenap kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga lokal dalam forum-forum
formal maupun non formal (Samsuri, 2009).
Dari gambaran tersebut, nilai-nilai yang menjadi materi pokok
pembelajaran PMP ataupun PPKn berasal dari “atas” (rejim yang sedang berkuasa),
bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus bawah). Konsekuensinya
nilai-nilai yang menjadi model materi pembelajaran pun cenderung hipokrit dan
jauh dari aspirasi ilmiah (keilmuan), sehingga PMP ataupun PPKn terkesan tidak
jauh beda dengan mata pelajaran Civics atau pun Kewargaan Negara pada masa
rejim Soekarno 1960an (Samsuri, 2009).
Dewasa ini, sejalan dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka mata pelajaran PPKn diganti dengan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang
standar isi, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai Mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006).
Tujuan Ppkn ini adalah untuk mewujudkan para siswa untuk
memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta anti-korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama
dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006:272, 280, 287).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran PKn tersebut, delapan materi
pokok standar isi mata pelajaran PKn di Indonesia untuk satuan pendidikan dasar
dan menengah memuat komponen sebagai berikut: (1) Persatuan dan Kesatuan
Bangsa; (2) Norma, Hukum dan Peraturan; (3) Hak Asasi Manusia; (4) Kebutuhan
Warga Negara; (5) Konstitusi Negara; (6) Kekuasan dan Politik; (7) Pancasila;
dan, (8) Globalisasi. Menurut Samsuri (2011), jika dipilah-pilah dari kedelapan
materi pokok ke dalam standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, maka dimensi
pembelajarannya mencakup aspek kajian (1) Politik Ketatanegaraan; (2) Hukum dan
Konstitusi; dan, (3) Nilai Moral Pancasila. Sedangkan untuk materi tentang
Pancasila menurut ketentuan standar isi tersebut dijabarkan ke dalam beberapa
sub materi, yaitu: (1) Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,
(2) Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, (3) Pengamalan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) Pancasila sebagai ideologi
terbuka.
Pada jenjang perguruan tinggi, pernah ada mata kuliah Manipol
dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (sekitar tahun 1960-an), Filsafat Pancasila
(tahun 1970-an sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an) dan
Pendidikan Kewarganegaraan (2000 sampai sekarang). Proses pembelajaran
Pendidikan Pancasila yang dijadikan rujukan dalam proses pembudayaan
nilai-nilai Pancasila di kalangan mahasiswa cenderung bersifat indoktrinatif
yang hanya menyentuh aspek kognitif sedangkan aspek sikap dan perilaku belum
tersentuh (Cipto, at all, 2002:ix).
Substansi mata kuliah Ke¬wira¬an sebagai pendidikan bela negara
direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi PKn berdasarkan Kepu¬tusan
Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum. Substansi mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat
Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.
43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti tersebut, PKn dirancang
untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan
dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan
bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh
bangsa dan negara. Sedangkan dalam Pasal 4 Keputusan Dirjen Dikti tersebut
menyebutkan bahwa tujuan PKn di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
1. Dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban
secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara terdidik
dalam kehidupannya selaku warga negara republik Indonesia yang bertanggung
jawab.
2. Menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah
dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi
dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan pancasila, wawasan nusantara dan
ketahanan nasional secara kritis dan bertanggung jawab.
3. Mempupuk sikap dan perilaku yang sesuai denan nilai-nilai
kejuangan serta patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan
bangsa.
Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek
pembahasan¬ Pendidikan kewarganegaraan ialah: Filsafat Pencasila, Identitas
Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak
dan Kewajiban Warga Negara, Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia.
Dengan demikian, jika dicermati pendidikan kewarganearaan di perguruan tinggi
memuat kajian Pancasila yaitu dalam bab Filsafat Pancasila yang dikembangkan
menjadi beberapa sub bab.
2. Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan
Kewarganegaraan
Berdasarkan kajian Pancasila dalam politik pendidikan di atas,
kita menemukan bahwa proses pembudayaan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan
melalui pembelajaran PKn. Secara umum hasil-hasil penelitian tentang PKn di
berbagai negara sesungguhnya menyimpulkan bahwa PKn mengarahkan warga negara
itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan bangsa
bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianut bangsa
bersangkutan.
Dari perspektif teori fungsionalisme struktural, sebuah negara
bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat
dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common
denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang
dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value). Nilai bersama ini tidak hanya
diterima tetapi juga dihayati. Dalam pandangan teori kewarganegaraan
communitarian, sebuah komunitas politik bertanggung jawab memelihara
nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam rangka mengarahkan individu
(Winarno, 2010). Melalui Ppkn nilai-nilai bersama yang merupakan komitmen
sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh penghayatan terhadapnya.
Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan
menjadi pendidikan kewarganegaraan yakni civic education dan citizenship
education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai “…the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an
active role in their communities in their adult lives”, atau suatu mata
pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara
muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatn¬ya.
Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan
(1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas
yang mencakup “…both these in-school experiences as well as out-of school or
non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious
organization, community organizations, the media,etc which help to shape the
totali¬ty of the citizen”.
Di sisi lain, David Kerr (1999) mengemukakan bahwa Citizenship
or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the
role of education (through schooling, teaching and learning) in that
preparatory process. (Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskan secara luas mencakup
proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya
persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara
tersebut.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah
citizenship education lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic
education. Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di
dalamnya PKn dalam arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai
proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran
dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang civic education adalah
citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.
Untuk konteks di Indonesia, citizenship education atau civic
education dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah
pendidikan kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan
kewargaan (Azra, 2002). Secara terminologis, PKn diartikan sebagai pendidikan
politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan
bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan
tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri,
2011).
Dilihat secara yuridis, kurikulum pendidikan dasar, menengah,
dan tinggi wajib memuat PKn yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 37 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa
“kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) Pendidikan Agama, b)
Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan Kewarganegaraan; c) Bahasa.” Dengan
demikian, secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan memiliki landasan yang
kuat untuk dibelajarkan kepada setiap warga negara.
Sekaitan dengan penanaman nilai-nilai Pancasila melalui
pendidikan kewarganegaraan, Arief Rahman, Duta UNESCO untuk Indonesia sekaligus
pengamat pendidikan mengemukakan bahwa penanaman ideologi Pancasila saat ini
dapat diterapkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (anonim, 2011). Namun lebih
lanjut ia mengemukakan bahwa agar ideologi tersebut dapat berjalan maksimal
maka perlu diperhatikan proses pembelajarannya. Dalam setiap proses
pembelajaran harus meliputi tiga aspek, yakni kognitif (pengetahuan), afektif
(sikap), dan psikomotor (pengalaman). Begitu pula dengan penanaman ideologi
Pancasila dalam pelajaran pendidikan Kewarganegaraan, ketiga aspek tersebut
harus dijalankan secara seimbang (anonim, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar